Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Kasus MTQ, Ada Rekayasa Politik Jegal Umar Djabumona

AMBON, INFO BARU - Tim kuasa hukum Umar Djabumona menilai kasus dugaan korupsi dana MTQ ke-24 Provinsi Maluku tahun 2011 senilai Rp 4 miliar, sangat bernuansa politik, yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk menjebak Wakil Bupati Aru tersebut.

Demikian disampaikan tim Kuasa Hukum Umar Djabumona masing-masing, Abdul Qodir SH.MH, Handarbeni Imam Arioso SH, dan Muhammad Riza SH, dalam jumpa Pers di Swissbel Hotel, Senin (10/9) kemarin.

Menurut Abdul Qodir, semua keterangan Sekda Kabupaten Aru, A.A Gainau yang menyudutkan klien mereka (Umar Djabumona,Red), telah terbantahkan dalam persidangan sebelumnya, ketika Sekda dikonfrontir dengan bendahara Bendahara Sekda, Elifas Leauwa.

Kata Qodir, jika merujuk persidangan pada 2 dan 3 September 2013 pekan lalu di PN Ambon,  secara jelas perkara ini tidak ada satu dasar atau bukti yang kuat untuk menetapkan Djabumona menjadi tersangka atau terdakwa.

“Dasar-dasar yang digunakan dalam BAP akhirnya kemudian dicabut oleh para saksi. Kalau sejak awal kasus ini dalam pengustannya diproses sesuai prosedur yang berlaku, maka pak Umar gak layak untuk ditetapkan sebagai tersangka ataupun terdakwa,” tandasnya.

Menurut kuasa hukum Handarbeni Imam Arioso SH menduga, bukti-bukti yang ditunjukan oleh bendahara sekda di persidangan pekan lalu, dengan sendirinya membuka atau telah terang sekaligus mendudukan kasus ini kalau Djabumona tidak bersalah.

“Karena bukti-bukti berupa surat dan proposal sudah ada disposisi dari Sekda dilanjutkan ke Ketua Harian, baru ke bendahara. Jadi, tidak ada disposisi atau perintah lisan sama dari Plt Umar Djabumona (terdakwa,Red). Memang sidang minggu lalu itu, sudah membuka sebenarnya apa yang sedang terjadi di perkara ini,” paparnya.

Ia menduga, perkara ini penuh rekayasa yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk  menjebak Plt Bupati Aru nonaktif tersebut.

“Jadi sangat kental ada upaya rekayasa yang di lakukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab kemungkinan lewat penyidik atau polisi untuk menjegal pak Umar karena posisi Pak Umar adalah wakil Bupati Aru. Kami menduga perkara ini ada unsur rekaysa berkedok politik,” cetusnya.

Soal pertanggungjawaban anggaran dana MTQ, kata Arioso, adalah kewenangan Sekda A.A. Ganiau, lantaran mesin penggerak birokrasi Aru itu, mengetahui semua anggaran lantaran kapasitas Sekda adalah Ketua Umum pelaksanaan MTQ tingkat Provinsi Maluku tahun 2011.

“Lebih dalam lagi, soal bantuan sosial (Bansos) misalnya, anggarannya juga diambil dari Sekda. karena posisi sekda selaku kuasa pengguna anggaran. Gakl mungkinlah jika dana cair tanpa sepengetahuan Sekda sama sekali,” sentilnya.

Hal yang sama juga dipaparkan Muhammad Riza, soal pembagian kewenangan penggunaan keuangan daerah antara siapa yang bisa meminta uang dan siapa yang harus mempelajari atau menguji permintaan uang, serta siapa juga yang harus mengeluarkan uang.

Pasalnya, dengan pembagian kewenangan dimaksud, maka setiap pejabat yang memiliki kewenangan tersebut patut untuk bertanggung jawab.

“Kalau misalnya ada kepala daerah yang meminta pemberian bantuan atau penyaluran dana misalnya kekurangan dana pelaksanaan MTQ ini, harusnya ada pejabat yang menguji dulu dong. Ketika si pejabat yang berwenang bilang bisa, nah itu wajar dana dicairkan. sebaliknya kalau tidak bisa, maka jangan dikeluarkan. Karena yang mengeluarkan dana itu ada orangnya, dan bukan kewenangan Plt Bupati Umar Djabumona,” kata Riza.

Menyinggung siapa mereka yang merekayasa kasus ini, Arioso berdalih hal itu kemungkinan dilakukan oleh lawan politik Umar Djabumona.

Arioso berasumsi, dalam waktu-waktu tertentu dimana menjelang momentum politik misalnya pilkada, biasanya ada upaya lewat Polisi atau Kejaksaan untuk menghambat orang tertentu, dan salah satunya hal tersebut terjadi pada Umar Djabumona.

Lanjutnya, jika kasus ini dijadikan sebagai bahan pembelajaran, seharusnya yang lebih bertanggungjawab dan belajar adalah penyidik baik dari polisi maupun pihak Kejakasaan, lantaran dua lembaga penegak hukum milik Negara ini adalah pintu masuk pertama menanganai perkara dimaksud. Dan pintu masuk pertama itu bisa dari pihak kejaksaan selaku penyidik juga pihak Kepolisian.

Sehingga kasus Djabumona lanjutnya, mesti dijadikan bahan pembelajaran oleh penyidik baik Kepolisian dan Kejaksaan. “Inilah yang sulit. Jika dari awal meresapi kaidah hukum yang sebenarnya,  maka perkara ini tidak seperti sekarang. Yang terjadi poiltiklah yang diatas hukum, bukan dibawah hukum. Padahal hukum harus dijadikan sebagai panglima. Tapi kebalikan, politik-lah yang telah memainkan hukum,” cetusnya.

Senada dengan itu Abdul Qodir menegaskan, hukum tidak seharusnya direkayasa sebagai alat politik yang pada gilirannya akan menimbulkan banyak efek negative. Dan hal ini mesti dipertimbangkan selain oleh aparat penegak hukum, juga para politisi.

“Jangan sampai rekayasa hukum untuk menjadi alat politik. Karena suasana demikian akan memicu situasi yang tidak kondusif. Apalagi, memainkan isu-isu yang kita tahu sangat sensitive,” tandasnya.

Selain itu Muhammad Riza SH yang juga kuasa hukum Umar Djabumona menambahkan, jangan sampai juga ada cara politik dari oknum tertentu yang ingin mencapai posisi kekuasaan dengan seenaknya mempidanakan saja seseorang yang diatasnya.

“Cara-cara politik yang tidak sehat ini kan turut memanipulasi hukum, yang sasarannya hanya ingin merampok jabatan,” tegasnya.

Kata Arioso, dalam penyidikan baik di Kepolsiian maupun Kejaksaan biasanya mengedepankan Pro Justicia bukan pro politicia (pro keadilan bukan pro politik). Tapi dalam kasus klienmereka  ini ada yang terjadi pro poilitik keadilan tidak dikedepankan.

Dijelaskan, dalam UU Pemerintahan daerah seseorang menjadi tersangka tidak bisa langsung diberhentikan dari jabatnnya.

Dengan cara, ketika polisi menetapkan Umar menjadi tersangka, umar tetap masih penjabat sementara Bupati Aru.

“Tapi tujuannya ingin menjegal pak umar. Yang kita takutkan seperti itu. Caranya gimana, ini kasusnya jalan dari polisi kemudian naik ke Kejaksaan. Di Kejaksaan-pun ketika mengeluarkan P-19 dikembalikan lagi ke polisi. Kalau misalnya tujuan awal adalah menjegal pak Umar, tidak mungkin dikeluarkan P-19 harusnya P-21 kemudian diterima Pengadilan, maka status terdakwa. Sesuai UU Pemerintahan Daerah seharusnya dia (Umar,Red) nonaktif. Dan ketika nonaktifbergeserlah tampuk kepemimpinan. Kalau anda (wartawan,Red) bilang jaksa harus mengoreksi dulu perkara ini, tentu kita harus lihat tujuannya. Itu yang kita takutkan,” urainya.

Sehingga tim kuasa hukum Umar Djabumona asal Kantor Adnan Buyung Nasution dan Partners ini, optimis dan berharap sesuai fakta-fakta yang telah diungkapkan para saksi di persidangan kalau Umar Djabumona atau klien mereka tidak bersalah, agar bisa dibebaskan atau bebas dari segala tuntutan jaksa.

Anak buah Adnan Buyung Nasution ini juga meminta jaksa untuk berbesar hati terkait fakta-fakta yang telah dibeberkan para saksi di persidangan untuk dijadikan bahan pertimbangan atau rujukan berarti.

“Kami rasa jaksa harus berbesar hati dengan tuntutan mereka, agar pak Umar dibebaskan. Tuntutan ini secara hukum dimungkinakn. Tapi, kita tunggu kebesaran hati dari jaksa. Biasa melakukan itu atau tidak.
Bagi kami, sesuai fakta-fakta yang telah disampaikan para saksi di persidangan sebelumnya hingga tadi (kemarin,Red), perlu menjadi rujukan. Apalagi, para saksi telah mencabut BAP. Karena apa yang dituduhkan selama ini kepada klien kami (Umar Djabumona,Red) telah terbantahkan,” tandas tim kuasa hukum Umar Djabumona ini.

Untuk persidangan berikutnya dengan agenda keterangan saksi akan digelar Senin 16  - 17 September 2013 atau pekan depan. (*)

Posting Komentar untuk "Kasus MTQ, Ada Rekayasa Politik Jegal Umar Djabumona"