Budaya tak Dukung Perempuan Terlibat Politik
AMBON, INFO BARU - Minimnya jumlah perempuan dalam kepanitiaan penyelenggaraan pemilu, serta keterlibatan perempuan dalam politik yang hanya sebatas memenuhi kuota 30 persen, mesti harus dicermati dan dijadikan satu catatan kritis, khususnya di tingkat lokal.
Dalam UU No.15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur ketentuan afirmatif, dimana UU ini mengisyaratkan adanya keterwakilan perempuan dalam keanggotaan penyelenggara pemilu, meskipun tidak berarti wajib, namun rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu harus ada unsur keterwakilan perempuan.
Untuk dikatahui, keanggotaan dalam penyelenggara pemilu menuntut kemampuan penguasaan pengetahuan dan pengalaman yang relevan dengan kepemiluan, sehingga itu tidak membatasi langkah kaum hawa dalam proses-proses seperti itu.
Hal inilah yang diduga menjadi kendala, disamping ada hal-hal lain seperti minat, dukungan keluarga, faktor-faktor sosial dan budaya.
Wakil Direktur Puskapol Universitas Indonesia (UI), Anna Lunbangaol dalam diksusi terfokus yang digelar Pusat Kajian Ilmu Politik (Puskapol) UI di Swissbell Hottel, Senin (21.10) kemarin mengatakan, kadang faktor budaya dan regulasi yang menyebabkan perempuan seringkali terbentur pada fenomena minimnya keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan pemilu hingga ke level yang paling bawah.
‘’Salah satu yang paling dominan dianggap sebagai hambatan perempuan masuk dalam ranah politik dan penyelenggara pemilu adalah faktor budaya, kemudian rendahnya minat perempuan. Politik dianggap tidak baik untuk perempuan, karena asumsinya politik itu kasar, kotor dan tidak cocok. Sering berperan pada sektor domestik mengungkung pilihan-pilhan perempuan untuk terlibat secara penuh dalam politik,’’ kata Anna.
Secara umum, kata Anna, keterlibatan perempuan dalam organisasi penyelenggara pemilu, khususnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), masih sangat minim.
Diungkapkan, pada level nasional, jumlah perempuan sebagai anggota KPU dan Bawaslu hanya satu orang. Kondisi ini juga terjadi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang mana keterlibatan perempuan sebagai anggota KPU dan Bawaslu sangat minim.
Bahkan kondisi tersebut berimbas hingga ketingak Kecamatan desa dan kelurahan. ”Dilingkup Tempat Pemungutan Suara (TPS) pun dapat dikatakan sangat minim,” ungkapnya.
Focus Grup Discussion (FGD) oleh Puskopal UI ini digelar kota di Indobesia, diantaranya Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Maluku, Papua, dan Papua Barat, dengan tujuan memetakan persoalan partisipasi perempuan dalam kepemiluan dimasing-masing daerah hingga dapat merumuskan rekomendasi perubahan regulasi agar lebih tegas dalam mengatur keterlibatan perempuan dibidang politik, dan tidak sekadar untuk memenuhi kuota 30 persen saja.
Dalam diskusi ini, Hilda Rolobessy, salah satu calon perempuan yang gagal dalam seleksi anggota KPU Maluku mengungkapkan, akumulasi kekecewaannya terhadap tim seleksi yang jelas-jelas tidak berpihak pada keterlibatan perempuan. ‘’Perempuan dijegal dengan banyak cara hingga tidak bisa lolos dalam proses seleksi,’’ ungkap Rolobessy.
Sementara itu Vivi Marantika dari Humanum, memberikan solusi agar perempuan dapat memperluas jaringan, kemudian meningkatkan posisi tawar untuk memperbaiki komunikasi politik dan membuka akses ke media seluas-luasnya.
‘’Pendidikan politik itu harus dibangun dari kesadaran perempuan dengan cara menegosiasikan kebutuhan dan pilihan-pilihan politiknya dalam keluarga, lingkungan hingga tingkat yang lebih luas,’’ papar Marantika. (TWN)
Posting Komentar untuk "Budaya tak Dukung Perempuan Terlibat Politik "