Kepala Daerah Dipilih DPR, Itu Kemunduran Demokrasi
AMBON, INFO BARU--Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Gubernur/Walikota/Bupati jika dikembalikan kepada DPR yang memilih, itu adalah kemunduran dalam sistem demokrasi.
Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif Parliament Monitoring (PAMOR) Maluku Halid Muhrum Pegatong, saat diwawancarai Info Baru Rabu (15/1) kemarin, seputar polimik Rancangan Undang-Undang kepala Daerah dikembalikan ke DPR.
Menurut Pegatong, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepada ke DPRD.
Lantas apakah ini sekedar manuver elite parpol untuk mengembalikan kejayaan status quo? Ditanya demikian Pegatong mengakuinya.
“Terutama partai-partai mayoritas. karena yang paling diuntungkan dengan langkah itu, ya partai-partai mayoritas di DPR itu,” ungkapnya.
Soal kemunduran demokrasi atas lahirnya RUU yang sedang dibahas di DPR tidk tepat dimaknai kalau produk itu berbenturan dengan UUD 1945, tapi menurut Pegatong sebenarnya yang perlu diprioritaskan dan dievaluasikan adalah tentang mekanisme pemilihan di DPR atau oleh rakyat.
“Yang jelas, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD itu sama saja kita menggerus lagi kedaulatan rakyat dalam menentukan masa depan bangsa/daerah melalui pemilu,” ungkapnya.
Soal alasan yang sangat ditonjolkan dan dipakai untuk dibuat RUU pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD misalnya, biaya politik mahal menurut Pegatong, problem tersebut ada pada partai politik.
“Ini bisa diatasi dengan kontrol keuangan partai yang lebih baik. Aturan pembiayaan kampanye yang lebih ketat, hentikan praktek "beli rekomendasi" partai dan lain-lain di partai dan penyelenggara. Artinya, manajemen keuangan partai harus bisa lebih profesional dan modern,” jelasnya.
Pegatong mempertanyakan lahirnya mekanisme pelaksanaa pemilihan daerah oleh DPR, padahal saat ini yang menjadi kekuatan penting rakyat Indonesia dalam menentukan arah pembangunan daerah yang efektif hanya melalui pemilu.
“Kalau itu juga mau dirampas oleh DPR berarti makin habis "kekuatan" rakyat. Lagian, tidak ada jaminan bahwa kepala daerah produksi DPR nanti bisa lebih baik dari produksi pemilukada saat ini,” tandasnya.
Asumsi terbalik Pegatong, jika kepala daerah dipilih oleh DPR maka rentan untuk terjadi politik transaksional antara calon kepala daerah dengan DPR sangat berpeluang hingga pada akhirnya kepala daerah akan berada dalam "kontrol" DPR.
“Artinya, kalau KPU domainnya yang memungkinkan hanya pada pengetatan pembiayaan peserta pemilu, serta mekanisme kampanye yang adil. Sebaliknya kalau Bawaslu, kewenangannya memang kecil makanya yang perlu dilakukan adalah peningkatan kewenangan Bawaslu,” sarannya.
KPU harus menjadi official sekaligus wasit yang adil dalam pelaksanaan Pemilukada.
Lanjutnya, selain pelaksana (KPU), partai politik berperan sangat penting dalam meningkatan kualitas pemilukada. “Intinya, mengembalikan pemilihan kepala daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) ke DPR itu sama saja membunuh demokrasi secara perlahan-lahan,” tegasnya.
Lantas bagaimana semenjak kepala daerah dipilih rakyat, endingnya sengketa bahkan wargapun sering terlibat bentrok? ditanya demikian Pegatong menyatakan, itu adalah problem aparat keamanan (Polisi) dan budaya demokrasi.
Menyangkut kemananan menurut Pegatong, polisi harus bisa lebih maju dalam mengantisipasi setiap peristiwa keamanan. “Ingat mengantisipasi bukan sekedar menyelesaikan. Kemudian, problem keamanan sampai bentrok warga, itu lebih banyak yang diorganisir,” tandasnya.
Pegatong berasumsi, sebenarnya tidak banyak masyarakat dengan suka rela ingin bentrok sesama. Meski dalam beberapa kasus hal tersebut bisa saja terjadi.
Sementara kalau diorginisir kata Pegatong, berarti budaya politik masing-masing calon kepala daerah dan partai pengusung yang harus diperbaiki.
“Sehingga yang titolak itu pelaksanaan pemilihan kepala daerah oleh DPR. Untuk RRU-nya tetap penting,” pungkasnya. (MAS)
Posting Komentar untuk "Kepala Daerah Dipilih DPR, Itu Kemunduran Demokrasi"