Kasus Irwan Patty Amburadul, JPU Lecehkan UU

AMBON, INFO BARU--Penanganan Kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) terkait proyek pembuatan kapal cepat milik Pemkab Seram Bagian Barat (SBB), yang menyeret mantan Kepala Dinas Perhubungan, Irwan Patty (terdakwa), telah menemui titik terang. Namun penanganannya oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sangat amburadul.
Selain itu, sangkaan jaksa yang didakwakan kepada Irwan Patty, tidak memenuhi syarat secara hukum acara dan terkesan penuh dengan rekayasa kesalahan terdakwa.
Hal ini terkuak secara jelas dalam rekaman proses, saat awal dimulainya persidangan di pengadilan Tipikor Ambon. Ketika Patty dihadirkan sebagai saksi dipersidangan untuk tersangka lain dengan kasus yang sama maupun saat disidangkan sebagai terdakwa.
“Kami Prihatin dengan sikap jaksa Marfie. Dialah penyebab kasus ini jadi amburadul. Sungguh disesalkan, semua cara dia (Marfie-red) halalkan untuk menjerat Pak Irwan,” tandas ketua LSM Pusat Kajian Strategis dan Pengembangan Sumber Daya Maluku (Pukat Seram), Fahri Asyathry kepada Info Baru, Selasa (6/5).
Kata Fahri, dugaan adanya berbagai upaya untuk merekayasa kesalahan terhadap kasus tersebut terjawab ketika pada persidangan untuk tersangka Vivi Matitaputi (Kontraktor), jaksa Marfie de Queljoe secara sengaja telah menghilangkan satu alat Bukti berupa sebuah dokumen, sementara di persidangan Patty pada tanggal 28 April lalu, jaksa penuntut hadir dengan tiga macam surat dakwaan sekaligus, padahal dalam Undang-Undang (UU) hukum acara, jaksa penuntut hanya diperbolehkan mangajukan satu surat dakwaan.
Dia pun meminta kepada Majelis hakim pengadilan Tipikor, agar dalam mempelajari kasus tersebut, majelis harus cermat dan lebih mengedepankan asas kontinuitas, sehingga keputusan yang diambil oleh majelis hakim nanti sesuai tidak melebihi tingkat kesalahan yang dutuhkan serta tidak pula bertabrakan dengan hak terdakwa untuk mendapatkan keadilan.
Sementara itu, Henry Lusikooy yang ditunjuk sebagai pengacara Irwan Patty, berdasarkan penetapan Majelis Hakim Tipikor Ambon, saat dimintai keterangannya mengatakan, metode penanganan kasus yang sementara diterapkan jaksa Marfie terhadap Kliennya adalah suatu bentuk pelecehan terhadap aturan UU.
Menurut Henry, dirinya mengatakan demikian karena dalam pasal 143 KUHP, dengan terang menjelaskan “penuhi kewajiban-kewajiban penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan”. Artinya surat dakwaan yang dibuat jaksa harus di uraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.
Namun faktanya, dakwaan yang di buat jaksa untuk mendakwakan patty sama sekali tidak memenuhi Standar teknik penyusunan dakwaan, seperti termaktub dalam pedoman pembuatan surat dakwaan yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI.
“Dalam pembuatan surat dakwaan, ada beberapa poin yang sangat mendasar yang telah dilangkahi oleh jaksa, padahal poin-poin tersebut merupakan ketetapan norma hukum. Hal-hal mendasar dimaksud adalah suatu dakwaan itu harus Cermat, Jelas dan Lengkap,” jelas Henry.
Selain itu dia juga menuturkan, jaksa dalam membuat surat dakwaan tertanggal 4 april 2014, JPU mengajukan patty dipersidangan, dengan dakwaan bersifat subsidairitas. Namun faktanya surat dakwaan JPU dimaksud hanya berisikan dakwaan primair saja sedangkan dakwaan subsidairnya tidak ada.
“Dakwaan jaksa Yang dibacakan pada tanggal 28 april lalu, hanya terdiri dari dakwaan primair saja, tidak ada subsidairnya,” terangnya.
Selanjutnya, tambah henry, dalam penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi, harus dikedepankan jaksa adalah hasil kerugian Negara yang nyata. dan Kewenengan yang diberikan UU kepada lembaga Negara untuk melakukan Audit terhadap suatu kerugian Negara dimaksud itu hanyalah BPK/BPKP bukan jaksa.
BPKP dalam melakukan tugasnya untuk mengaudit suatu kerugian Negara, dilaksanakan berdasarkan data dan informasi akurat dari jaksa. Dari hasil audit BPKP provinsi Maluku melalui surat yang direkomendasikan terkait dengan perkara ini menjelaskan, bahwa jaksa dalam memberikan berkas untuk di audit, tidak lengkap.
Sehingga hasil audit BPKP itu memerintahkan, jaksa memberikan berkas yang selengkap-lengkapnya, agar BPKP dapat menghitung berapa kerugian Negara secara cermat dan akurat.
Namun faktanya, jaksa tidak menindaklanjuti alias mengabaikan permintaan atau rekomendasi BPKP tersebut. Parahnya lagi dalam kasus tersebut, mengenai jumlah kerugian Negara yang selama ini di pakai oleh jaksa sebagai acuan untuk menjerat Irawan Patty adalah data hasil hitung jaksa Marfie De Queljoe, bukan data audit BPKP Maluku, Karena sampai hari ini BPKP Maluku belum mengeluarkan data resmi mengenai berapa kerugian Negara dalam kasus proyek pembuatan kapal patrol cepat tersebut.
“Ini jelas adalah suatu bentuk pelecehan terhadap UU. Ada permintaan dari auditor untuk memberikan bukti, tapi jaksa tidak memenuhinya. jaksa malah hitung sendiri berapa kerugaian Negara. Jaksa ini siapa? Jaksa itu bukan BPKP. Dalam aturan UU, Negara tidak memberikan kewenangan kepada seorang jaksa untuk menghitung atau mengaudit sendiri berapa kerugian Negara,” ungkap Henry.
Dirinya mengingatkan, Undang-Undang itu di buat untuk dijalankan sebagaimana mestinya, apalagi untuk seorang abdi negara. bukan sebaliknya dibuat untuk dilanggar dengan semena-mena, seperti dilakukan jaksa yang menangani Kasus Kapal patrol milik pemkab SBB tersebut. (MG-01)