DPR Jangan Amputasi Kedaulatan Rakyat

AMBON, INFO BARU--Anggota DPR RI yang sedang memabahas Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) dari rakyat dikembalikan ke parlemen yang menentukan atau memilih, sudah barang regulasi baru tersebut denagn sendirinya telah mengamputasikan kedaulatan rakyat (hak politik kewarganegaraan), seperti yag diamanatkan UUD 1945.
Menyikapi masalah ini, DirekturLembaga Studi Pers dan Demokrasi (LSPD), M. Aziz Tunny, yang dimintai tanggapannya olerh Info Baru di Ambon, Kamis (11/9) mengatakan, RUU Pilkada andai disahkan akan mengamputasikan kedaulatan rakyat.
Menurutnya, DPR tidak serta merta harus mengamputasikan hak rakyat dalam konteks politik yakni memilih pemimpin sekelas gubernur/walikota/bupati untuk diwakilkan oleh anggota DPR.
“Kedaulatan rakyat kaitannya dengan hak setiap Warga Negara Indonesia dalam aspek politik rakyat memliki kedaulatan penuh untuk menentukan pemimpinnya baik itu gubernur/walikota/bupati. Jadi, kedaulatan rakyat tidak bisa diwakilkan oleh siapapun apalagi oleh anggota DPR,” tegasnya.
Menurutnya, keinginan DPR membahas RUU pilkada kemudian akan disahkan menjadi UU yakni Pilkada menggunakan system parlementer, perlu dikaji secara matang sehingga tidak memangkas hak rakyat secara totalitas.
Menurutnya, penggunaan anggaran soal pilkada langsung yang dimaksudkan DPR itu hanya persoalan tekhnis yang masih bisa dicarikan solusinya, sehingga saat momentum pilkada langsung tidak menguras anggaran.
“Artinya, soal anggaran Pemerintah bisa mengatur Pilkada langsung itu dilakukan secara serempak. Memang pilkada secara serempak itu tidak bisa dilakukan di seluruh daerah, tapi bisa di atur untuk dilakukan bertahap. Saya kira, jika hal ini dilakukan oleh Pemerintah dengan melakukan pilkada langsung secara bertahap, maka kekhawatiran anggaran Negara yang semlula terkesan dikuras itu bisa dirit kalau diawasi atau pemanfaatannya sesuai koridor,” jelasnya.
Memang gawe pilkada langsung di 34 Povinsi dan 414 kabupaten, 1 kabupaten administrasi, 92 kota, dan 5 kota administrasi di Indonesia, memang kesannya menguras anggaran Negara, tapi masih bisa disiasati.
Aziz menekankan kepada agar DPR RI di senayan untuk mencari solusi terbaik tujuannya agar pembahasan RUU Pilkada saat ini pada endingnya tidak harus meniadakan kedaulatan rakyat.
“Memang tidak semua daerah akan melaksanakan pilkada serempak. Tinggal di atur time atau jadwal pelaksanaannya saja. Kalau langsung meniadakan hak rakyat itu sangat bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Untuk itu, Aziz mengingatkan DPR di senayan tidak menjadikan semangat RUU Pilkada yang sementara dibahas, kemudian langsung mengamputasikan atau menghilangkan hak politik atau kedaulatanb rakyat dalam pemilihan kepalada daerah mulai gubernur, walikota maupun bupati.
“DPR-RI harus arif dan bijakasana dalam masalah pembahasan RUU Pilkada dengan cita-cita dikembalikan ke parlemen. Harusnya dicarikan jalan solusinya sehingga aturan yang baru itu tidak serta merta mengamputasikan kedaulatan atau hak politik rakyat,” sentilnya.
Ia menawarkan, sebelum DPR RI di senayan melahirkan RUU tentang Pilkada dikembalikan ke Parlemen, seharusnya DPR mengamandemenkan salah satu klausal atau pasal dalam UUD 45 amandemen keempat tentang pilkada langsung.
“UUD 1945 adalah konstitusi negara. Sehingga jika DPR tetap ngotot membahas kemudian mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU, maka revisi dulu salah satu pasal pada UUD 1945 tentang pilkada langsung. Sekali lagi, eksistensi UUD 45 itu lebih tinggi dari UU maupun peraturan pemerintah serta peraturan lain di bawahnya,” warningnya.
Lantas apa semangat apa yang dibawa oleh para anggota DPR, yang getol membahas dan ngotot untuk disahkan aturan tersebut, ditanya demikian, Aziz menyatakan semangat yang dibawa oleh para wakil rakyat di senayan saat ini tak lain adalah kepentingan partai politik semata.
“Sesuai konstitusi Pilkada langsung itu pesta rakyat bukan wakil rakyat. Jangan karena kepentingan parpol kemudian mengamputasikan hak rakyat. Kalau DPR tetap ngotot mengesahkan RUU tersebut maka demokrasi kita justru mengalami kemunduran,” ketusnya.
Menurutnya, amanah reformasi memang tidak serta merta melahirkan sebuah Negara yang ideal, namun hal itu butuh proses yang panjang untuk mencapai demokratisasi di tanah air.
“DPR harus mengambil sisi positif Orde Baru dan meninggalkan sisi negative system tersebut. Kalau mengadopsi semua system Orde Baru dan diaplikasikan di era reformasi saat ini, ya tentu saja, demokrasi kita stagnan dan malah mengalami kemunduran,” tandasnya. (MAS)