GMNI: Reformasi Agraria Harga Mati

AMBON, INFO BARU--Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesi (GMNI), Rabu (24/9) menggelar aksi unjuk rasa di depan seputaran Pos Kota Ambon. Aksi unjuk rasa ini digelar dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional.
Dalam aksi unjuk rasa itu mahasiswa meminta pemerintah bisa memberikan keadilan bagi petani untuk memiliki hak atas kepemilikan tanah mereka. Menurut mereka, reformasi agraria merupakan agenda nasional yang harus dilaksanakan, karena itu adalah soal hidup dan mati bangsa.
“Ini adalah soal bagaimana rakyat hidup sejahtera dan berkeadilan sosial. Prinsipnya reformasi agraria adalah harga mati, karena salah satu kunci kesejahteraan bagi rakyat (petani-red) adalah pembebasan, peningkatan akses dan penguasaan lahan. Dengan kondisi inilah petani bisa meningkatkan produktivitas pangan secara berkelanjutan,” teriak salah satu pendemo saat menyampaikan orasinya.
Menurut mahasiswa tersebut, sejak tampuk kekuasaan dipegang oleh Pemerintah Orde Baru hingga ujung tahun pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono, pelaksanaan reformasi agraria banyak diselewengkan, bahkan bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria. Artinya terkait persoalan itu tidak ada keseriusan dari pemerintah dalam melaksanakan UU tersebut.
Menurutnya, BPS mencatat, imfor yang tidak sedikit jumlahnya di tahun 2013 secara volume per Januari-Oktober yakni mencapai 15,4 juta ton atau setara dengan U$$ 7,73 miliar. Jadi pangan imfor itu mulai dari singkong, cabai, kopi, susu, bawang, tepung, terigu, garam, kedelai hingga beras.
Kemudian diperpara lagi dengan kebijakan liberalisasi disektor pertanian. Dimana Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 itu melibatkan pemodal asing untuk menggiring petani dan pertanian mereka pada zona memprihatinkan. Yakni, pada angka 60 persen petani Indonesia adalah petani gurem dengan luas lahan hanya 0,3 ha. Padahal idealnya, kepemilikan lahan minimal 2 ha per rumah tangga tani.
Jadi kebijakan ini semakin mengurangi kesejahteraan petani di Indonesia. Artinya menempatkan petani menjadi buruh tani karena liberalisasi terus dilakukan pemerintah.
Mahasiswa mengatakan, Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5. Tahun 1960 yang ditetapkan Presiden Soekarno pada tanggal 24 september 1960, merupakan cerminan dari cita-cita sosialisme Indonesia yang memberikan keadilan bagi petani untuk memiliki hak atas kepemilikan tanah, serta melakukan pembatasan secara tegas terhadap persoalan-persoalan agraria untuk kepentingan nasional.
Secara khusus, di Provinsi Maluku dengan terang-terangan terjadi perampasan hak ulayat masyarakat dan terkesan pemerintah hanya menutup mata, tak hanya perempasan tanah oleh investor dan penguasa berdasi di daerah ini saja, tetapi persoalan pengembangan pertanian dan proyek irigasi di negeri ini pun tidak jelas hingga berujung pada tindak korupsi.
Lebih lanjut realitas yang terjadi adalah lahan kaum tani dipersempit dengan membuka peluang besar bagi investor untuk hanya mencari keuntungan semata, seperti program proyek sagu di Maluku yang pusatnya di Desa Tawiri hingga kini tidak ada kejelasanya, kemudian persoalan pertambangan emas di kabupaten Buru dan Maluku Barat Daya (MBD).
Selain itu, penanaman kelapa sawit di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Kemudian gencarnya penanaman tebuh di Kabupaten Kepulauan Aru. Intinya semua persoalan tersebut akan menggusur hak rakyat. “Istilahnya hak rakyat dirampas,” tegas orator tersebut.
Untuk itu mereka mendesak, pemerintah SBY-BOEDIONO untuk memperhatikan persoalan tersebut, karena mereka gagal dalam melaksanakan reformasi agraria, kemudian mendesak Pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla untuk mengimplementasikan UU PA Nomor 5 Tahun 1960 dan menjamin retribusi tanah untuk petani serta segera menyelesaikan seluruh kasus konflik agraria sebagai akibat dari liberalisasi dengan praktek perampasan tanah secara tuntas dan menyeluruh.
Selain itu, mendesak pemerintah terpilih (Jokowi-JK) untuk membatalkan semua program leberalisasi yang sudah disepakati, mendesak pemerintah terpilih untuk memperhatikan serta mengesahkan RUU Provinsi Kepulauan. Selanjutnya menolak dan melawan kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Mahasiswa juga mendesak Gubernur Maluku, Ir. Sad Assagaf untuk menghentikan semua aktivitas penambangan emas secara liar di Kabupaten Buru dan MBD. Serta segera membatalkan semua rencana penanaman kelapa sawit di SBB, SBT dan penanaman tebuh di Kabupaten Kepulauan Aru. (MG-05)