Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

RUU Pemilukada tak Langsung, Menghapus Hak Rakyat

RUU Pemilukada tak Langsung, Menghapus Hak Rakyat (Ilustrasi).
AMBON, INFO BARU--Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pemilukada) tak langsung dinilai kurang demokratis. RUU ini kurang strategis dan tepat, karena menghapus hak rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya.

Pilkada secara tidak langsung mengembalikan masyarakat Indonesia ke sejarah yang lalu, yakni rezim Orde Baru. Itu artinya para elit politik yang ada di DPRD serta partai politik pengusung akan menakhodai daerah. Dengan demikian menjadi kepentingan partai dan elit politik.

"Kalau kondisinya seperti itu, DPRD bisa memilih figur sesuai kemauannya yang mudah diatur," kata Katua Kabid Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Anggota, Forum Pemuda untuk Demokrasi Maluku, Loilatu Jalil kepada Info Baru, Selasa (16/9).

Pihaknya berharap agar wakil rakyat yang ada di parlmen kembali mengkaji permasalahan tersebut sebelum di tetapkan menjadi UU. Apalagi hasil survei oleh LSI bahwa mayoritas masyarakat yang tersebar di seluruh nusantara menolak demokrasi tidak langsung.

Dia mengatakan, kalau kebijakannya akan dikembalikan pada sistem lama, maka DPRD tidak boleh dipilih oleh rakyat, jadi mereka langsung dipilih atau diutus saja oleh partai politik, karen pemilu legislatif juga membutuhkan anggaran.

Menurutnya, Indonesia adalah salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia dan itu bukan sekedar jargon, utopia atau luapan imajinasi belaka, tapi sebuah realitas politik Indonesia.

Secara faktual demokrasi Indonesia terbangun dengan gemilang. Memang diakui, pemilukada langsung sangat memakan anggaran yang banyak, namun tetap saja wajar, karena memang demokrasi tidak diperuntuhkan demi efesiensi tapi akuntabilitas.

"Saya kira sistem saat ini telah membuka sumbatan-sumbatan demokrasi yang sudah macet bertahun-tahun lamanya, terutama dalam memilih pemimpin daerah melalui Pilkada Langsung. Dan ini adalah terobosan yang mestinya terus dipertahankan," katanya.

Maksudnya terminologi kedaulatan rakyat sendiri semestinya tidak lagi dianggap sebagai retorika, utopia apalagi jargon politik. Kedaulatan rakyat adalah terminal untuk menampung reformasi dan demokratisasi. Ia adalah visi gerakan reformasi atau demokratisasi yang mestinya ditumbuh kembangkan. Dan dari titik seperti inilah, legitimasi kedaulatan itu bergerak.

Ia mengatakan, dukungan masyarakat merupakan subuah modal sosial politik yang akan mendongkrak kinerja kepala daerah. Sebaliknya bila rakyat merasa kepentingan tidak lagi menjadi prioritas pelayanan kepala daerah, maka rakyat akan menyatakan kehendaknya melalui apa yang dinamakan punishment vote. Harus diakui, bahwa dipihak lain implementasi kedaulatan rakyat telah berimplikasi pula pada penguatan kehidupan politik masyarakat disemua jenjang. Dan semua implikasi itu bercerita soal bagaimana daerah membangun kultur politik yang demokratis. Bagaimana kesetaraan, pluralisme, toleransi menjadi bagian dari proses pendidikan politik rakyat.

Atau bagaimana rakyat menjadi elemen bangsa terdepan yang memelihara sediri guliran momentum kedaulatan rakyat yang dilandasi oleh sebuah tekad kolektif untuk tidak lagi memberi ruang bagi kembalinya rezim anti demokrasi.

"Saya kira ini adalah jalur civil society untuk membungkam kekuasaan negara yang berlebihan," tegas Loilatu. (TWN)