Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Dasar Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama

Pastor Agus Ulahayanan.
INFO BARU--Dasar atau landasan dari cara untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah hakekat dan martabat kemanusiaan, realita sosial yang ada, ideologi keagamaan yang dianut dan dicita-citakan, dan komitment konstitusional yang dicanangkan. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama merupakan konsekwensi serta kebutuhan hakiki dari kemanusiaan yang universal, yang tidak dapat ditolak dan wajib diusahakan oleh setiap insan beragama karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk hidup yang Individual dan serentak komunal yang hidup bersama, mengelompokkan diri atas dasar tertentu, saling membutuhkan, saling berelasi, saling mempengaruhi; yang memiliki kesamaan martabat, nilai-nilai kemanusiaan, dan hak asasi, eksistensi atau keberadaan, permasalahan dan kebutuhan, ideologi dan cita-cita; dan serentak memiliki kekhasan yang membedakan individu yang satu dengan yang lain maupun kelompok yang satu dengan kelompok yang lain; yang memiliki kebebasan batiniah (kehendak) dan lahiriah (tindakan),namun serentak dapat pula mempengaruhi dan dipengaruhi;yang memiliki kecenderungan “egositis” maupun “altroistis”, baik secara individual maupun komunal; yang mempunyai akal budi, hati nurani dan keutamaan untuk memikirkan dan mengetahui, menilai dan memutuskan, serta bertindak atau berbuat; yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma: adat/budaya, kenegaraan, keagamaan.

Penghargaan terhadap agama/umat beragama lain, hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain, bukan hanya merupakan kebutuhan dan tuntutan atau kewajiban keagamaan, tetapi lebih luas dan dalam dari itu, yaitu karena kemanusiaan. Kerukunan dan toleransi antar sesama manusia, baik yang beragama maupun yang tidak beragama, merupakan tuntutan kebutuhan dan kewajiban kemanusiaan dari setiap orang (termasuk orang yang tidak beragama). Kerukunan dan toleransi antar umat beragama merupakan konsekwensi dari hakekat kemanusiaan kita.

Oleh sebab itu bila ada orang yang merusakkan atau menolak kerukunan dan toleransi antar umat beragama, sama dengan ia merusakkan atau menolak kemanusiaan. Apakah kita menghendaki demikian ? Kiranya tidak ! Oleh sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama, karena dan demi kemanusiaan (harkat dan martabat manusia) yang universal.

Masyarakat Indonesia, baik secara lokal maupun nasional memiliki nilai-nilai dan norma-norma budaya yang pada dasarnya sangat mengutamakan, menjamin serta mencirikhaskan kerukunan dan toleransi, perdamaian dan persatuan,persaudaraan dan kekeluargaan, solidaritas dan kerjasama, bukan hanya antar umat beragama tetapi antar setiap individu dan kelompok dari latarbelakang manapun. Kearifan-kearifan lokal seperti “pela” dan “gandong”, “ain ni ain” dll., maupun falsafah bangsa seperti “Bhineka Tunggal Ika” merupakan perekat untuk landasan dalam membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Secara sepintas terkesan kearifan lokal bercorak khas dan hanya dimiliki oleh, berlaku bagi dan diterima oleh kelompok tertentu. Sedangkan nilai-nilai budaya atau kearifan nasional yang dianggap milik bangsa, dan diterima serta berlaku bagi segenap warga negera, terkesan tidak representatif, digugat dan ditolak atau bahkan dirusakkan oleh pihak-pihak tertentu. Namun bila kita kaji lebih dalam maka jiwa atau makna terdalam dari kearifan lokal bercorak nasional, bahkan universal, dapat diterima dan dimiliki oleh serta berlaku bagi siapa saja, termasuk bagi individu maupun kelompok dari latarbelakang agama yang berbeda. Secara faktual sejarah masyarakat “Maluku” dan bangsa Indonesia telah membuktikan hal ini.

Nilai-nilai budaya atau kearifan lokal telah mendasari dan melahirkan nilai-nilai budaya bangsa dan negara kita, dan serentak telah mendasari pembentukan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia, menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan secara khusus mendasari kerukunan dan toleransi antar umat beragama di bumi nusantara ini. Kerukunan dan toleransi merupakan ciri budaya kita, baik secara lokal maupun nasional. Maka menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi dalam aspek manapun dengan alasan apapun tidak dapat diterima secara kultural karena sama dengan menolak atau merusakkan budaya lokal maupun nasional kita.

Untuk itu kita perlu mengusahakan penyadaran dan “pelestarian” nilai-nilai budaya atau kearifan lokal maupun nasional, secara kontekstual melalui penggalian dan pencerahan (sosialisasi) untuk sungguh-sungguh dimiliki dan diwujudkan dalam hidup. Secara faktual, masyarakat “Maluku” pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya bercorak majemuk. Kemajemukan, termasuk dalam bidang keagamaan, merupakan ciri khas masyarakat kita. Maka konsekwensi dari kemajemukan adalah kebutuhan dan kewajiban untuk menerima dan mengusahakan kerukunan dan toleransi. Misalnya antar umat beragama.

Maka warga masyarakat atau umat beragama yang menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi umat beragama pada dasarnya menolak atau merusakkan kemajemukan dalam masyarakatnya. Menolak atau merusakkan kemajemukan dalam suatu masyarakat yang majemuk adalah sama dengan menolak atau merusakkan eksistensi masyarakat tersebut. Sebagai warga masyarakat “Maluku” dan warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang adalah masyarakat yang majemuk, apakah kita mau merusakkan atau menolak eksistensi masyarakat kita ? Kiranya tidak ! Namun kita tidak dapat ingkari adanya ancaman pengrusakan ataupun penolakan terhadap eksistensi masyarakat kita. Oleh sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama, demi mempertahankan dan mengembangkan eksistensi masyarakat “Maluku” maupun bangsa Indonesia yang majemuk.

Sejak Negera Kesatuan Republik Indonesia didirikan, para pendirinya kiranya telah menyadari kemajemukan bangsa kita ini serta ancaman terhadap kerukunan dan persatuan di satu sisi maupun potensi untuk membangun kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan beragama, dengan rukun dan damai dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari lain sisi. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan dan penderian Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pencetus Sumpah Pemuda telah menyadari ciri kemajukan bangsa kita dan kebutuhan akan persatuan dan perdamaian.

Karena itu untuk mencegah perselisihan dan perpecahan serta memelihara kerukunan dan toleransi serta persatuan, disusunlah falsafah bangsa dan dasar negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 45. Jadi dasar kenegaraan atau konstitusional dari kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah Pancasila dan UUD 45 (khusunya pasal 29). Selain itu, juga undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan/keputusan presiden, peraturan/keputusan menteri, yang lebih bersifat operasional dan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 45. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama amat dibutuhkan dan menentukan kedamaian, persatuan dan keutuhan dari bangsa kita yang majemuk. Karena itu komitment, undang-undang dan peraturan untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan dan toleransi antar umat beragama dibuat dan perlu dipatuhi oleh segenap warga negara. Maka menolak atau merusakkan kerukunan dan toleransi antar umat beragama sama dengan menolak atau merusakkan Pancasila dan UUD 45, serentak menolak atau merusakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah kita menghendaki demikian ? Kiranya tidak !

Oleh sebab itu kita perlu waspada terhadap oknum ataupun kelompok yang mencoba merusakkan atau menolaknya, seraya berusaha untuk membangun kerukunan dan toleransi antar umat beragama, demi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara kita dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejauh yang kami ketahui, semua agama “moderen” yang ada di dunia sekarang ini amat menekankan tentang nilai-nilai hidup manusia seperti: kerukunan, perdamaian, persaudaraan, solidaritas, cinta kasih, persatuan, dan kerjasama dalam hidup bersama. Tujuan yang hendak dicapai setiap agama adalah kematangan spiritual dan moral yang terwujud atau terbukti dalam hubungan yang baik antara manusia dengan Allah serta antara manusia dengan sesamanya.

Pembentukan pribadi yang baik yang terungkap dan nampak secara nyata dalam kata-kata, sikap atau perilaku dan perbuatan yang baik terhadap orang lain merupakan misi dari setiap agama. Hal-hal ini bukan hanya dicita-citakan, diwajibkan dan diusahakan untuk terwujud oleh, bagi dan antar orang-orang yang seagama, tetapi juga oleh, bagi dan antar orang-orang yang berbeda agamanya.

Karena itu toleransi antar umat beragama adalah sesuatu yang mutlak perlu sebagai konsekwensi logis dari cita-cita setiap agama serta konsekwensi adanya kemajemukan agama dalam suatu masyarakat. Orang beragama yang tidak toleran terhadap agama atau orang beragama yang lain, pada dasarnya mengingkari cita-cita agamanya sendiri serta menolak atau merusakkan kemajemukan agama dalam lingkungan masyarakatnya. Menolak atau merusakkan kemajemukan agama dalam suatu masyarakat yang majemuk sama dengan menolak atau merusakkan eksistensi masyarakat tersebut. (*)

Oleh: Pastur Agus Ulahayanan
Penulis Adalah: Sekretaris Keuskupan Amboina

Posting Komentar untuk "Dasar Kerukunan dan Toleransi Antar Umat Beragama"