Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ketua DPRD SBB Bohongi Hakim Tipikor

Ketua DPRD SBB Bohongi Hakim Tipikor.
AMBON, INFO BARU--Ketua DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Frans Purimahua dinilai memberikan kesaksian palsu alias membohongi Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), saat digelarnya sidang terkait tuduhan korupsi proyek pengadaan Kapal Patroli, yang dilakukan mantan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) SBB, Irwan Patty, di Pengadilan Tipikor Ambon, Senin (16/6) pekan lalu.

Alasan Purimahua dihadapan Majelis Hakim Tipikor dengan mengatakan, proyek Kapal Patroli SBB oleh Dishub SBB itu dilakukan sebelum Mei 2008, sangat tidak mendasar dan telah membohongi Majelis Hakim Tipikor. “Pak Frans telah memberikan kesaksian palsu, karena proyek Kapal Patroli bukan dilakukan sebelum bulan Mei 2013. Ini kebohongan yang telah dibeberkan Pak Frans di hadapan Majelis Hakim Tipikor,” kata Fungsionaris Forum Pemantau Keadilan Maluku (FPKM), Arifin Paliorone kepada Info Baru, Senin (23/6) kemarin.

Menurutnya, kesaksian Purimahua sangat bertolak belakang dengan kesaksian yang perna disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) SBB, Mansyur Tuharea dan Kepala Dinas Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) pada beberapa waktu lalu.

Dimana, saat itu mereka menyatakan, untuk proyek pengadaan Kapal Patroli belum bisa dilengkapi, karena terkendala anggaran daerah. “Dalam kesaksian waktu itu Pak Sekda dan Kadis BAPPEDA mengatakan, saat ini daerah masih mengalami devisit, sehingga anggaran untuk pengadaan Kapal Patroli senilai Rp 1,5 miliar dipending dulu. Mereka juga mengatakan, anggaran Rp.1,5 miliar itu baru akan keluar pada tahun 2009. Atas kesaksian tersebut, kami menilai Pak Purimahua telah memberikan kesaksian palsu dan menipu Majelis Hakim. Selain menipu Majelis Hakim, Pak Purimahua juga telah membohongi masyarakat SBB,”tudingnya.

Dia juga menilai, Purimahua sebagai pejabat daerah tidak memiliki nurani, karena apa yang telah disampaikan tidak sesuai dengan fakta dilapangan dan terkesan dipolitisir. “Sebagai wakil rakyat, Pak Purimahua sebenarnya harus menyampaikan kesaksiannya sesuai fakta dilapangan. Jangan membuat kesaksian yang mengada-ngada. Ini adalah proses diskriminasi terhadap Irwan Patty,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan, Perimahua terkesan memihak pada orang-orang tertentu. Buktinya dia lebih menyetujui pembelian speedboat bekas, seharga Rp.2,7 milar yang diajukan Bupati Seram Bagian Barat (SBB), Jacobus Puttileihalat, ketimbang Kapal Patroli yang hanya seharga Rp.1,5 miliar. Padahal Kapal Patroli yang diajukan Dishub SBB itu merupakan kapal perdana yang dirancang oleh Multi Guna.

Ia juga mengungkapkan, speedboad yang sudah dibeli oleh Puttileihalat dengan menggunakan anggaran daerah tersebut, tidak dimanfaatkan oleh kepentingan masyarakat. Dimana speedboad itu diparkir di Piru dan Hotel Aston. “Speedboad itu digunakan Pak Jacobus untuk kepentingan pribadi. Buktinya speedboad tersebut selalu diparkir di Hotel Aston dan Piru. Ini adalah skenario kotor yang dimainkan Pak Primahua dan Pemkab SBB untuk menghancurkan Pak Irwan yang adalah tokoh pemekaran itu,” tudingnya pula.

Sebelumnya, Koran ini perna memberitakan, BPKP dalam melakukan tugasnya untuk mengaudit suatu kerugian Negara dan dilaksanakan berdasarkan data serta informasi yang akurat. Dari hasil audit BPKP Provinsi Maluku melalui surat yang direkomendasikan terkait perkara itu menjelaskan, berkas audit jaksa tidak lengkap. Sehingga hasil audit BPKP itu memerintahkan, jaksa memberikan berkas yang selengkap-lengkapnya, agar BPKP dapat menghitung berapa kerugian Negara secara cermat dan akurat.

Namun faktanya, jaksa tidak menindaklanjuti alias mengabaikan permintaan BPKP tersebut. Parahnya lagi dalam kasus tersebut, mengenai jumlah kerugian Negara yang selama ini di pakai oleh jaksa sebagai acuan untuk menjerat Irawan Patty adalah data hasil hitung jaksa Marfie De Queljoe, bukan data audit BPKP Maluku, karena sampai hari ini BPKP Maluku belum mengeluarkan data resmi mengenai berapa kerugian Negara dalam kasus proyek pengadaan Kapal Patroli tersebut. 

“Ini adalah bentuk pelecehan terhadap UU, karena ada permintaan dari auditor untuk memberikan bukti, tapi jaksa tidak memenuhinya,” terangnya. (TWN)