Pilkada Rawan Transaksional, 5000 Penyidik KPK Tuntaskan Korupsi di Indonesia

AMBON, INFO BARU - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, proses politik seperti Pilkada rawan praktek transaksional sehingga berpeluang melahirkan pemimpin berperilaku korupsi.
Kepada watrawan Rabu kemarin di Rumah Kopi Lela, Abraham menegaskan, biaya politik terlalu besar dan hal itu akan menjadi rangsangan bagi para kontestan calon kepala daerah yang bertarung jika kelak terpilih, berprilaku korup.
Kepada watrawan Rabu kemarin di Rumah Kopi Lela, Abraham menegaskan, biaya politik terlalu besar dan hal itu akan menjadi rangsangan bagi para kontestan calon kepala daerah yang bertarung jika kelak terpilih, berprilaku korup.
“Mereka para calon kepala daerah mengeluarkan duit yang banyak melalui momentum politik lima tahunan, sehingga sangat mungkinan para calon kepala daerah yang terpilih, akan mengejar pengembalian modal semata. Jika ini terjadi yang kasihan kan masyarakat,” tandasnya.
Menyangkut dengan pemberantasan korupsi, Abraham mengaku, jika KPK memiliki infrastruktur memadai dan personil penyidik sekitar 5000 orang maka tak perlu watu lama lembaga supewrbody milik Negara itu menuntaskan kasus korupsi di Indonesia termasuk Maluku.
“Anda tahu sendiri KPK hanya memiliki 50 orang personil. Tidak usah banyaklah kita punya 5000 penyidik saja, maka tidak terlalu lama untuk kita menuntaskan kasus korupsi di Indonesia,” cetusnya.
Sementara itu, untuk memudahkan pemberantasan korupsi baik oleh Kejaksaan maupun Kepolisian, sebaiknya kalau kasus level provinsi maka ia menyarankan penangananya diambil alih oleh Kejaksaan Agung dan Polri.
“Kalau kasus level Ibukota/Kabupaten itu Kejaksaan Negeri atau Polda yang tangani ini keliru dan akan menghambat prosesnya. Kalau kasus korupsi level Kabupaten/Kota ditangani aparat penegak hukum level Kejakasaan Negeri dan Polda level Polres itu bisa menimbulkan gangguan psykologi dari dua institusi penegak hukum itu,” jelasnya.
Ditambahkan, Bupati atau Kapolres dan Bupati atau Walikota sering bertemu sehingga jika Bupati atau Walikota yang tersangkut korupsi, maka pengusutan kasusnya akan tersendat pada gangguan psykologi dari Kejari atau Polres.
“Untuk menghindari gangguan psykologi yang berdampak pada pengustan kasus korupsi tidak terhambat, maka kasus korupsi level Kabupaten/Kota itu seharusnya ditangani aparat Kejaksaan Tinggi atau Polda saja. Sebaliknya kalau kasus korupsi level Provinsi harus Kejagung-RI yang ambil alih. Jangan kejakasan Tinggi. Ini untuk menghindari gangguan psykologi para penegeak hukum dari Kejari maupun Polres dan sebaliknya juga Kejaksaan Tinggi maupun Polda,” ungkapnya.
Menyangkut hal tersebut menurut Abraham, secara institusi KPK telah menyarankan kepada Kejaksaan Agung-RI berkaitan dengan tekhnis penanganan kasus korupsi level Kabupaten/kota hingga Provinsi, KPK sendiri telah menyampaikan ide ini kepada Kejagung-RI di Jakarta.
“Saya sudah sampaikan masalah ini kepada Kejagung-RI. Untuk kasus korupsi level Provinsi biar Jaksa Agung langsung ambil alih. Jangan Kajati. Sebaliknya, kasus korupsi level kabupaten/kota itu yang mesti ambil alih adalah Kejaksaan Tinggi atau Polda. Jangan Kejaksaan Negeri atau Polres yang tangani. karena ada pengalaman KPK seprti ini. saran KPK itu telah dimulai oleh pihak kepolisian,” paparnya.
Menurut Abraham, untuk mengantisipasi penangan kasus korupsi oleh aparat kejakasan maupun kepolisian tidak terhenti di tengah jalan atau mandek, Abraham mengaku, KPK juga telah melakukan pola koordinasi supervisi tingkat penegak hukum dengan membuat MoU.
“KPK tidak bisa mengambil alih setiap perkara yang prosesnya terhambat di Kejaksaan atau Kepolisian secara langsung, sekalipun dalam UU bisa memungkinkan namun kita tidak bisa serta merta mengambil alih perkara. Jika Kejaksaan atau Kepolisian belum mau menyerahkan maka kita juga tidak bisa langsung ambil alih. Sebaliknbya jika sudah dilimpahkan makaa KPK akan menindaklanjutinya,” jelasnya.
Abraham mencontohkan, pengalaman perkara korupsi yang ditangani oleh Polda Jawa Tengah yang ingin menetapkan Ketua DPRD Jawa Tengah dari PDI-P sebagai tersangka.
“Saat itu Polda Jawa Tengah tidak berani untuk menetapkan ketua DPRD Jateng menjadi tersangka, karena partai pemenang di Jateng adalah PDI-P yang massanya sangat besar. Jadi, Polda Jateng tidak berani untuk menetapkan Ketua DPRD Jateng itu menjadi tersangka. Sehingga pihak Polda Jateng melimphakan perkara yang bersangkutan kepada KPK.
Begitu dilimpahkan, kami panggilan yang bersangkutan sebanyak tiga kali, kemudian kita periksa langusng menetapkannya sebagai tersangka. Jadi begitu, jika kasus korupsi level Provinsi itu harus diserahkan kepada Jaksa Agung atau Polri. Kemudian kasus korupsi level Kabupaten/Kota itu harus ditangani Kejaksaan Tnggi atau Polda bukan Kejari atau Polres,” imbuhnya. (MAS)
Posting Komentar untuk "Pilkada Rawan Transaksional, 5000 Penyidik KPK Tuntaskan Korupsi di Indonesia "