Dugaan Money Laundering di DPRD Maluku, BPK Diminta Audit Dana Aspirasi 2010-2013

AMBON, INFO BARU--Pegiat Anti Korupsi Maluku, Moezhard Hatala, kepada Info Baru di Ambon, Senin (19/5), meminta BPK Perwakilan Maluku mengaudit APBD provinsi Maluku tahun anggaran 2010, 2011, 2012, dan 2103.
Pasalnya, alokasi APBD terkait dana aspirasi untuk 45 anggota DPRD Provinsi Maluku 2009-2014, telah bertentangan dengan undang-undangan nomor 17 tahun 2013 tentang keuangan negara.
“UU nomor 17 tahun 2013 tentang keuangan negara sangat jelas dan tegas mengatur penggunaan anggaran. Masa undang-undang harus tunduk kepada Peraturan Daerah (Perda). Hirakihnya Perda lah yang wajib tunduk atau merujuk kepada UU. Apaplagi sampai sekarang kita tidak mengetahui sebenarnya dana aspirasi kejelasannya digunakan untuk apa,” sentilnya.
Menurutnya, pemberian dana aspirasi kepada 45 anggota DPRD Maluku periode 2009-2014 dengan menggunakan APBD Provinsi Maluku adalah upaya kerjasama sistimik yang dibangun antara dua lembaga tersebut (legislatif-eksekutif).
“Upaya kerjasama legislatif dan eksekutif sengaja merekayasa APBD provinsi Maluku, sehingga 45 anggota DPRD periode 2009-2014 mendapat dana aspirasi 2010-2013. Jumlahnya tidak sesuai dengan aturan keuangan negara. Jadi ini korupsi dengan cara pencucian uang (money laundering),” tegasnya.
Alasannya, dimana sejumlah program yang disiasati melalui dana aspirasi untuk sejumlah proyek, baik fisik maupun non fisik di Maluku, diduga di lapangan pekerjaannya tidak sesuai bestek. Bahkan dananya hanya untuk membuncit saku 45 anggota DPRD provinsi Maluku periode 2009-2014 tersebut.
Selain mendesak BPK untuk mengaudit dana aspirasi yang diterima 45 anggota DPRD Maluku periode 2009-2014, ia juga meminta tim penyidik bidang pidana khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku, segera menelusuri sejumlah proyek yang menjadi bagian dari program 45 anggota DPRD Maluku di 11 Kabupaten/Kota se Maluku.
Dalilnya, pemeriksaan fisik proyek yang dikerjakan dengan menggunakan dana aspirasi itu dimaksudkan, untuk inventarisasi proyek bermasalah, pemeriksaan fisik proyek dana aspirasi, juga dilakukan untuk mengetahui sejauh mana penyerapan anggaran.
Untuk itu ia menyarankan penyidik Kejati Maluku segera mengagendakan pemanggilan terhadap Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Maluku periode 2009-2014 yang ditengarai sungguh mengetahui kemana sebenarnya aliran dana aspirasi yang diterima 45 anggota DPRD Maluku periode 2009-2014.
Selain itu, pencairan anggaran mulai 2010 hingga 2013 ditengarai atas rekayasa kebijakan sepihak Badan Anggaran DPRD provinsi Maluku menaikkan nilai dana aspirasi pada 2011 hingga 2013 per anggota dapat 2,5 miliar, nilai itu berbeda pada 2010 per anggota mendapat 1 miliar.
Hatala menyatakan, usulan dana aspirasi yang telah direalisasikan dalam APBD 2010 hingga 2013 mencapai Rp 2,5 miliar itu, telah mengacaukan APBD dimana hanya menguras anggaran yakni merugikan daerah termasuk negara.
Menurutnya, nominal yang diajukan juga terlihat aneh, karena jumlahnya pukul rata untuk setiap daerah pemilihan (dapil).
"Usulan itu menurut saya mengacaukan sistem bernegara, itu kan sama saja membuat aturan baru, dimana anggota dewan yang harusnya menyalurkan aspirasi kemudian mengajukannya menjadi program pemerintah. Bukan malah ikut membuat program baru," kritiknya.
Lanjutnya, bukan tidak mungkin dalam penditribusiannya juga tidak dapat terawasi. Alasannya, dalam cara merencanakan anggarannya saja sudah aneh.
“Masa pakai istilah pukul rata per anggota DPRD provinsi 2,5 milliar untuk wilayah Dapil mereka. Padahal kan setiap pembangunan tiap daerah punya anggaran yang berbeda. Itu kan secara tidak langsung menunjukkan kalau anggota dewan memang ingin melibatkan diri dalam pembangunan tersebut," tukasnya.
Kendati dalam pengajuan anggaran terkesan memaksa meskipun mungkin ada tujuan baik yang tersirat di dalamnya, namun tindakan itu sama dengan mengkhianati aspirasi rakyat dengan menyalahgunakan wewenang yang ada pada para wakil rakyat di DPRD provinsi Maluku itu sendiri.
"Tujuan yang baik tapi kalau caranya tidak masuk akal, pasti ada niat yang salah disitu. Dana yang disebut-sebut sebagai dana aspirasi tidak seperti yang dibayangkan masyarakat, imbuhnya.
Ia yakni dana aspirasi yang yang diperoleh DPRD provinsi Maluku periode 2009-2014, hanya untuk meraih keuntungan secara pribadi dan partai politik semata.
"Saya lihat itu motivasinya tidak lain untuk memperoleh keuntungan bagi anggota DPRD provinsi Maluku periode 2009-2014 termasuk kepentingan partai ada di dalam," tukiknya.
Alasannya, ada indiaksi pencucian uang (Money Laundering) dugaannya, para anggota dewan itu menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan itu tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
“Umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum, sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah,” jelasnya.
Alasannya, tindak pidana money laundering tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sehingg Hatala meminta BPK perwakilan Maluku jika telah menyelesaikan audit mereka terkait realisasi dana aspirasi 45 anggota DPRD provinsi Maluku yang bersumber dari APBD provinsi Maluku segera diserahkan ke aparat penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Tinggi Maluku agar masalah ini diprose sesuai hukum yang berlaku.
Seperti diwartakan Info Baru sebelumnya, dana aspirasi anggota DPRD provinsi Maluku periode 2009-2014 itu untuk program kerja di sejumlah SKPD lingkup Pemda Maluku. disiasati melalui Perda.
Dimana pada 2010 masing-masing anggota DPRD Maluku mendapat Rp 1 miliar. kemudian angka itu melonjak pada 2011 hingga 2013 dimana 45 dewan Provinsi Maluku itu dijatahi per orang Rp 2,5 miliar.
Modusnya, penggunaan dana untuk program aspirasi itu dipecah-pecah sehingga tidak perlu melalui mekanisme tender. Yang kemudian dilakukan adalah pemilihan langsung rekanan, pada kondisi ini kemudian oknum legislator ataupun rekanan milik legislator bermain.
Demikian hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Lembaga Transparansi Anggaran Pembangunan Maluku, Darul Kutni Tuhepaly, kepada Info Baru di Ambon, Senin (12/5) lalu. (MAS)