Asing Monopoli MIGAS Indonesia termasuk di Maluku

AMBON, INFO BARU--Pemerhati Ekonomi asal Maluku, Risal Hamsa Sahupala SE, kepada Info Baru di Ambon, Sabtu (4/10) menyatakan, sistim pengelolaan minyak dan gas bumi di Indonesia telah memberi peluang besar kepada pengusaha asing untuk leluasa berinvetasi di Indonesia. Peluang itu nampak pada prosentase kepemilikan saham para kontraktor asing tersebut.
Menurutnya, hal tersebut mengindikasikan, Negara Indonesia tidak berdaulat terhadap sumber daya alamnya (SDA) sendiri. Idealnya, Indonesia pemilik, juga harus yang mangaturnya.
Namun faktanya saat ini, asing telah mengusai atau memonopoli nyaris seluruh sector minyak dan gas di Indonesia termasuk di Maluku. Ia menegaskan, realitas kekiniaan asing telah menguasai minyak dan gas (migas) di Indonesia juga Maluku, Nampak dari kepemilikan saham sejumlah perusahan asing yang mengelola migas di Tanah Air termasuk di Provinsi Maluku.
Risal mencontohkan, ladang gas abadi di blok Masela Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dan Maluku Tenggara Barat (MTB) itu, Inpex salah satu perusahaan multi negara yang berpusat di Jepang, telah menguasai 60 persen saham di blok Masela, serta 30 persen sisanya dikuasai perusahaan gas Belanda, Shell.
Dijelaskan, dalam kerangka pembangunan strategis, migas merupakan sumber daya alam utama bagi politik dan ekonomi negara guna mencapai kemakmuran rakyat.
Risal mengemukakan, pengelolaan migas di Indonesia masih jauh dari optimal. Dan itu bisa ditandai hingga ke-69 tahun Indonesia merdeka (1945-2014), industri migas Negara masih sangat tergantung pada dominasi asing. Karena sekitar 90 persen produksi migas dihasilkan kontraktor asing.
“Lebih parah lagi, sejumlah saham besar dalam pengelolaan migas di Indonesia saat ini, adalah Negara-negara yang pernah menjajah Indonesia. Di blok Masela misalnya, negara Jepang pernah kejam terhadap rakyat kita selama tiga setengah tahun. Tapi oleh negera kita, Jepang diberi 60 persen saham. Kita sama mengetahui juga, Belanda 350 tahun menjajah kita dengan pengorbanan dan kerugian sangat besar. Tetapi hari ini di blok Masela mereka juga mendapat jatah 30 persen saham. Sementara rakyat Maluku dan rakyat Indonesia nol persen saham. Lalu apa arti semua ini,” celotehnya.
Menurut dia, sikap Pemerintah Indoneisa terus memberikan keleluasaan atau cenderung ‘bermurah hati’ yang memberikan insentif atau saham semakin besar dan longgar kepada para kontraktor migas asing tersebut.
Lanjutnya, yang sangat prihatin lagi, insentif-insentif tersebut terkait dengan aspek finansial (CR, perubahan pola bagi hasil, investment credit, pajak, DMO fee) hingga terkait dengan aspek jaminan ketahanan migas nasional (DMO holiday, DMO fee).
“Kami memahami sungguh, ada daya tarik investasi, namun wajib dipahami pula dimana harga diri bangsa kita, harga diri rakyat Indonesia apabila hampir semua lapangan migas dikuasai/monopoli asing, dengan jumlah porsentase hingga 90 persen. Hal itu mencerminkan lemahnya sikap politik pemerintah Indonesia di bidang migas khususnya, yang semakin hari terlihat semakin menurun dan memburuk,” tandasnya.
Untuk itu ia meminta pemerintah agar tidak sekedar berorientasi kepada kepentingan finansial jangka pendek saja, dalam pengelolaan migas, tapi lebih mengedepankan aspek ketahanan dan kemandirian migas untuk kepentingan nasional.
“Pemerintah juga harus lebih berani membatasi keinginan-keinginan investor migas terkait dengan pemberian insentif-insentif migas. Dan pemerintah juga hendaknya mengkaji dan meninjau ulang kontrak karya yang telah diberlakukan selama ini, sehingga kepentingan politik migas nasional yang lebih mendasar, khususnya peningkatan ketahanan/security of supply migas, dan agar migas benar-benar dapat menjadi salah satu sumber kemandirian dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia,” tandasnya. (MAS)